SAMBUTAN PENELITI
Antroposen Sastra:
Catatan Pengantar atas “Impotensi” Sastra Pesantren
Pola pikir Makcomblang sejati serta nyeleneh, biasanya selalu mempertanyakan segala sesuatunya dalam konteks hubungan. Seperti mengotak-atik seberapa jauh hubungan: Budi dan Wati, Rosi dan Rosidin, atau bahkan Rafli Ahmad dan Ayu Ting-Ting. Jika mendadar hubungan Budi dan Wati, pasti jawabannya akan sangat baik-baik saja. Apalagi keduanya senantiasa akan naik daun pada setiap indoktrinasi buku pembelajaran membaca generasi baheula. Setiap ungkapan: “Ini Budi”, selalu disandingkan dengan “Ini Wati”. Tidak pernah dipadukan dengan “Ini Eman”, “Ini Rojali”, atau “Ini Heri”. Sehingga nama ibu dan bapaknya pun tidak pernah memunculkan di luar nama Ibu dan Bapak Budi serta Wati.
Begitupun sosok pebalap motor GP yakni Rosi, memiliki kemiripan hubungan yang sangat erat dengan cerita Rosidin. Seorang tukang ojeg kampung yang berlaga mirip Rosi. Namun, takdirlah yang membedakan mereka berdua. Hanya berbeda akhiran “-din”, maka Rosi dan Rosidin pun hanya berbeda hoki. Begitulah kaidah “cocokologi” bermain dalam domain permainan kata. Adapun bagaimana hubungan Rafli dan Ayu, mungkin para aktivis jama’ah gosip lebih mengetahuinya.
Lantas, bagaimana hubungan antara: Sastra dan santri. Keduanya seolah tidak ada hubungan berarti. Padahal kata sastra dan santri adalah dua kata yang membangun unsur pembentuk istilah pesantren. Kata pesantren berasal dari kata santri. Dengan awalan –pe dan akhiran –an, memiliki arti tempat tinggal para santri[1]. Santri ini berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu[2]. Adapun shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, agama, atau ilmu pengetahuan[3]. Berdasarkan asal-usul kata tersebut jelaslah bahwa ada hubungan yang sangat erat antara sastra, santri, dan pesantren.
Elok kemesraan antara ketiga unsur kata tersebut dibuktikan dengan artefak kesejarahan yang panjang. Yang pada intinya, sistem budaya pesantren telah berhasil dalam memproduksi santri dan budaya tulis. Bahkan sejarah telah tertoreh dengan jelas, penyebaran panji keislaman kebanyakan menggunakan wahana seni dan sastra.
Tersebutlah seorang penulis populis bernama Hamzah Fansuri. Beliau menulis sejumlah buku keislaman, prosa, dan puisi yang begitu tinggi mutunya. Batu nisan budayawan agung nusantara itu ditemukan di pekuburan Bab al-Ma’la di Mekah, yang memungkinkan dirinya berhasil menjadi guru-besar yang dihormati di Masjidil Haram. Kemudian tradisi kepenulisan dalam sistem budaya pesantren tersebut diteruskan oleh muridnya yakni: Syamsuddin as-Sumaterani, Abdurrauf as-Singkili, Nuruddin ar-Raniri. Dan sejarah kemudian mencatat bahwa para wali dan kyai sesudahnya, selalu melanggengkan tradisi menulis. Melalui sistem budaya tulis ini, agama Islam menjadi berkembang melalui proses yang sangat mengagumkan di wilayah Indonesia.
Sastra pada akhirnya menjadi salah satu media syiar dalam mengislamkan bumi Indonesia. Dalam konteks kesundaan, ada berbagai macam pantun, wawacan, sisindiran, dan sastra wayang golek yang menandai dominasi syiar Islam yang luwes. Semuanya dipenuhi pesona eksotik nilai-nilai keislaman, yang pada akhirnya orang tidak sadar akan pengaruh itu. Sehingga pengaruh animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha secara perlahan tergantikan oleh sosok baru agama yang membudaya di masyarakat. Dengan demikian, peranan sastra dalam menyebarkan dakwah keislaman tidak bisa dipungkiri lagi keberadaannya.
Kini, eksistensi sastra dalam dunia kepesantrenan yang menjadi ciri khas penyebaran keislaman dahulu seolah redup. Geliatnya seolah hilang tertelan zaman. Syahwat kepenulisan menjadi barang langka di dunia kekinian pesantren. Bahkan sastra pesantren telah mati. “Impoten” dalam karya kepenulisannya.
Kelahiran buku kumpulan puisi karangan Al-Garuty cukup garang dan bisa mematahkan argumentasi yang mengatakan matinya sastra pesantren. Penulis sangat mengapresiasi lahirnya buku ini yang menandai bangkit dari kuburnya sastra pesantren. Kebanyakan puisi yang ditulis oleh Al-Garuty ini berkisah tentang romantisme cinta dan kerinduan yang mencoba dinegosiasikan kepada Sang Khalik. Sekilas puisi ini seolah ditulis oleh seorang pujangga melankolis nan picisan muda yang sedang diaduk asmara, seperti halnya ungkapan-ungkapan puitis dari Dilan kepada Milea pada seusiaan anak SMA. Anda ternyata salah besar. Pujangga ini ternyata telah senior. Hal ini menandai ada kisah “tragis” yang belum selesai. Memang, derita menjadi sastrawan adalah tidak pernah “selesai” dengan dirinya sendiri. Tragis memang. Namun, justru inilah yang akan menjadi bahan bakar dan kekuatan dari tulisannya.
Berdasarkan bentuknya, kebanyakan puisi dalam buku ini mengisyaratkan puisi yang bebas. Namun justru dengan kebebasannya itu pula, ada beberapa puisi Al-Garuty yang bentuknya terikat. Seperti dalam puisinya yang berjudul: Riak Gelombang Rindu, Ayat-Ayat Cinta, Desahan Malam, Kidung AsmaMu, dan lain sebagainya. Puisi modern memang tidak terikat oleh aturan bait, baris, maupun rima. Namun, beberapa puisi Al-Garuty mencoba melawan secara luwes manstream puisi modern ini secara tidak sadar.
Beberapa karya puisi Al-Garuty secara malu-malu ingin menawarkan puisi terikat, walau tidak secara ketat. Karena kemalu-maluan ini, kelihatannya penegasan akan hal tersebut tidak secara lugas. Hanya ada dalam beberapa puisi saja. Gaya bahasa dan pemilihan kata oleh sang penulis puisipun dilakukan dengan gaya yang luwes, sederhana, dan sopan. Sangat jauh dari pemilihan kata yang konfrontatif, lugas, dan mbeling seperti ciri penyair-penyair posmo.
Kelebihan puisi modern memang menempatkan sang pujangga dalam pola kreativitas yang sebebas-bebasnya. Tidak mau diatur oleh skema bentuk yang mengkungkung. Makanya jarang sekali para pujangga sekarang melahirkan karya puisi yang terikat dengan aturan tersebut. Puisi Al-Garuty memang tidak sekaku dan seterkungkung sastra zaman baheula layaknya Bang-Bang Kalima-Lima Gobang ataupun Punten Mangga seperti dalam budaya lisan dan tulis pada pantun, syair, dan sonata. Yang apabila dipreteli bentuknya ada alur yang terpola, seperti:
Bang... Bang...
Kalima-lima gobang,
bang...
Bangkong di tengah sawah,
Wah...
Wahai tukang bajigur,
Gur...
Guru Sakola Desa,
Sa...
Ataupun seperti dalam:
Punten mangga,
Ari ga,
Gatot Gaca,
Ari ca,
Cau ambon,
Ari bon,
Bonteng asak
...
Lirik karya sastra tersebut terlihat seperti bersahutan secara terstruktur. Semuanya ada dalam skema bunyi yang terikat ketat. Kita juga sekarang tidak sedang memasuki zaman pantun yang saling bersahutan seperti:
Satu titik, dua koma.
Kamu cantik, siapa yang punya.
Seperti yang kita tahu Al-Garuty bukan sedang hidup di zaman cut bray, yang hampir karya sastranya didominasi secara terikat. Namun pesonanya boleh saja merembesi dan menginspirasi tulisannya. Kita sekarang secara perlahan meninggalkan fase Holosen, dan sedang memasuki zaman Antroposen[4]. Manusia sebagai pusat dari alam semesta. Manusia dipandang sebagai satu-satunya entitas yang memiliki nilai tertinggi. Dimana Antroposen Sastra[5] telah menandai bagi kelahiran sastra tanpa batas dalam berkreativitas. Seperti terlihatnya ketanpabatasan penulis puisi ini dalam berkontemplasi merenungi diri. Walau ada banyak catatan dan kekurangan dari segi bentuk dan isi dalam puisi ini. Namun bukanlah itu sebagai wujud dari rasa kemanusiaan kita sebagai manusia yang tidak luput dari khilaf dan salah. Akan tetapi, satu hal pembelajaran yang luar biasa dari puisi-puisi ini, bahwasanya ketanpa-batasan tersebut justru jangan sampai membatasi motivasi keberislaman kita. Keberislaman yang menyebarkan dakwah Islam dengan sastra. Jangan sampai geliat sastra-pesantren ini seperti riak air sesaat dalam bejana yang kembali tenang. Jangan sampai Chairil Anwar bangkit dari kubur kembali, hanya untuk berseloroh membisiki batin kita:
Sekali berarti,
Sudah itu mati.
Selamat membaca tulisan ini.
Tanah Haram (Arab Saudi), Mei 2018
Heri Mohamad T.
Peneliti Sosiologi Sastra
[1] Zamakhsari Dhofier. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. Hal 41.
[2] C.C. Berg, “Indonesia” dalam HAR Gibb (ed.). 1932. Whiter Islam? A Survey of Modern Movement in the Moslem World. London: TP. Hal. 257.
[3] M. Chaturverdi dan BN Tiwari. 1970. A Practical Hindi-English Dictionary. New Delhi: Rashtra Printers. Hal 627.
[4] Teori Antroposen ini sangatlah baru dan belum begitu populer di Indonesia. Istilah ini dipakai dalam kajian etika lingkungan, geologi, dan kosmologi. Lihat Paul Crutzen (2002), Will Steffen (2007), Jeremy Davies (2016) dan Sonny Keraf (2010)
[5] Sejauh ini belum ada istilah Antroposen Sastra, namun penulis menggunakan istilah Antroposen Sastra untuk menjelaskan gairah yang meletup-letup yang memandang manusia sebagai satu-satunya entitas tertinggi dalam kreativitas sastra. Manusia menjadi penguasa dan pemilik dari dominasi sastra itu sendiri.
Komentar